Origin Kajian #2: Breaking Free from the Red Ocean Bloodbath, How Tesla Carve New Markets while Tata Nano Failed
- MSS FEB UI
- Jul 5
- 12 min read
Updated: Jul 6

Pada tahun 2010, di tengah banyaknya ojek pengkolan yang ada di Indonesia, khususnya Jakarta, lahir suatu calon perusahaan besar, yaitu Gojek. Visi besar mereka adalah menjadi bagian dari solusi yang inovatif bagi dunia transportasi di Indonesia.
Kemudian, pada pertengahan tahun 2014, ketika Gojek masih bisa dengan leluasa merayap menembus kota-kota di Indonesia, muncul pesaing baru, Grab. Pesaing yang baru muncul ini melakukan berbagai gebrakan saat peluncurannya, seperti meluncurkan layanan GrabBike dan diskon Rp5.000 per perjalanan yang pada saat itu lebih murah dibandingkan tarif Gojek. Tentunya, ini menjadi perhatian yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya pengguna setia ojek online. Seketika, hal ini menjadi sebuah ajang kompetisi bagi kedua perusahaan raksasa ini. Akan tetapi, satu hal yang menjadi pertanyaan, tentu ini menjadi keuntungan bagi konsumen, tetapi sampai kapan perang harga ini bisa dipertahankan tanpa membiarkan perusahaan “terkapar”?
Awalnya, ini tampak seperti kompetisi yang sehat. Mengapa? Karena ini memperluas pilihan kita sebagai konsumen. Namun, seiring berjalannya waktu, ini berubah menjadi perlombaan yang destruktif. Gojek, karena tidak ingin kehilangan pangsa pasar, ia juga menambah volume promo, seperti paket berlangganan Gojek Plus.
Pada 7 Mei 2024, yang merupakan diskon Rp12.000 pada setiap transaksi. Melihat hal ini, Grab merespons dengan memberikan potongan harga Rp3.000 untuk total delapan perjalanan atau GrabBike diskon Rp5.000 untuk empat perjalanan. Ini sangatlah jelas. Mereka sama-sama “terkunci” dalam perang harga yang tidak kunjung selesai, saling mencoba untuk melumpuhkan satu sama lain dengan modal investor yang sangat besar.
Pada peperangan yang ganas ini, mitra pengemudi menjadi korban yang paling merasakan dampaknya. Mereka lah yang didorong untuk bekerja dari pagi buta hingga larut malam akibat dari kompetisi kedua perusahaan ini. Banyak dari mereka yang tentunya mengalami burnout, pendapatan harian bahkan menurun, bahkan sambil menunggu di pinggir jalan demi mendapatkan orderan. Bahkan, tidak jarang driver yang saya dapatkan mencurahkan isi hati mereka mengenai perjuangan mereka untuk mendapatkan orderan demi menghidupi keluarga mereka. Ketika satu perusahaan menaikkan insentif order, perusahaan lainnya juga segera menurunkannya dengan dalih menjaga keberlanjutan bisnis.
Inilah wajah dari persaingan red ocean strategy. Para kompetitor bertempur di pasar yang sama dan memperebutkan pelanggan yang sama. Para kompetitor menggunakan sumber daya yang terbatas dengan cara menurunkan harga, memeras mitra, dan membakar modal demi keberlanjutan bisnis. Semua hal ini berujung pada perang harga yang berdarah-darah. Inilah red ocean. Dan, blue ocean strategy menawarkan cara untuk keluar dari kekacauan ini.
Apa itu Blue Ocean dan Red Ocean Strategy?
Salah satu tantangan terbesar bagi para pebisnis di dunia ini adalah bagaimana caranya membedakan bisnis kita dari para kompetitor. Bukan hanya itu saja, pertanyaan lainnya adalah bagaimana caranya agar bisnis kita bisa menjadi bisnis yang paling menonjol di antara bisnis-bisnis kompetitor lainnya? Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena banyak bisnis-bisnis di luar sana yang masuk ke pasar yang sama dengan bisnis kalian.
Lalu, apa solusinya? Menurut saya, cara terbaiknya adalah dengan menerapkan blue ocean strategy. Strategi ini mengarahkan kita untuk menjelajah dan memimpin wilayah pasar yang belum tersentuh. Maksudnya adalah kita menciptakan demand baru, tidak hanya merebut sisa-sisa pelanggan yang ada. Dengan blue ocean strategy, para pesaing lama sudah tidak relevan lagi. Dan terkadang, cara ini bisa melahirkan industri yang benar-benar baru. Para perusahaan yang menggunakan blue ocean strategy ini berani menggeser atau memperluas batas-batas lama dari satu industri dan menciptakan “dunia” baru.
Lantas, mengapa red ocean strategy tidaklah lebih baik jika dibandingkan dengan blue ocean strategy? Alasannya sama seperti contoh persaingan antara Grab dan Gojek sebelumnya. Para pengusaha bersaing di lingkungan yang penuh dengan kompetisi. Inilah alasannya strategi ini disebut dengan red ocean. Alasannyaadalah laut ini penuh dengan banyak darah, banyak hiu, dalam konteks ini kompetitor, di sana. Darah ini adalah hasil dari kompetisi antarkompetitor yang satu dengan lainnya. Dan, cara agar bisnis kita menonjol dalam red ocean ini tidaklah semudah menonjol dalam blue ocean. Kalian bersaing dengan para kompetitor lainnya dengan mengatakan, “Produk kami jauh lebih baik”, tapi bagaimana cara meyakinkan konsumen? Konsumen sudah memiliki banyak opsi dan mereka juga mendengar hal tersebut dari sekian banyak produk lainnya.
Mengapa Blue Ocean Strategy Lebih Baik daripada Red Ocean Strategy?
“The best way to beat the competition is to stop trying
to beat the competition.”
Quotes di atas mungkin sudah sering terdengar di telinga sebagian besar orang. Ini benar. Kompetisi itu ibarat jantung dari setiap pasar suatu bisnis. Kompetisi bisa mendorong perusahaan untuk merancang strategi, menyempurnakan solusi yang ditawarkan bisnis perusahaan, dan tentunya menyesuaikan harga barang atau jasa sesuai dengan keunggulan dan kelemahan para kompetitor. Pada akhirnya, ini bisa memicu ide ide baru atau justru menurunkan semangat para pebisnis untuk terus melanjutkan bisnisnya. Dan, ini bukanlah hal yang mudah.
Di buku Blue Ocean Strategy, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne menegaskan bahwa area “permainan” bisnis seperti ini hanyalah arena perang dengan lahan yang “terbatas”, sedangkan (idealnya) keunggulan dari suatu bisnis terletak pada kemampuan mereka dalam menciptakan arena baru yang belum dijamah sama sekali. Logika mereka sebenarnya sederhana. Analoginya adalah jika kita mampu membuat atau menciptakan arena baru, kompetitor lainnya mau tidak mau “mengejar” kita alih-alih menyerang kita, bukankah itu yang kita inginkan?
Bahkan, Harvard Business Review sendiri pernah mengulas gagasan blue ocean strategy ini. Mereka menegaskan bahwa masalah umum yang biasanya dialami oleh para pebisnis adalah mereka terjebak dalam pola pikir bisnis yang keliru. Mereka cenderung berusaha untuk menyamai atau mengalahkan para pesaing mereka, entah dengan berlomba pada pricing, entah berlomba pada kualitas yang sudah ada. Tentu, ini tidak sepenuhnya salah, tetapi kita memiliki peluang lebih besar jika menggunakan strategi yang tepat. Memaksimalkan potensi dan peluang adalah kata-kata yang tepat.
Sebelum saya melangkah ke pembahasan selanjutnya mengenai brand Tesla, saya akan membandingkan brand Tesla dengan suatu atau beberapa brand otomotif lainnya, yang terjebak dalam red ocean, dengan menggunakan tiga metriks, yaitu (1) Gross Margin, (2) Harga Saham, dan (3) Volume Penjualan. Menurut saya, ketiga metriks ini sudah cukup untuk mewakili kinerja suatu bisnis. Gross margin sendiri, dikutip dari Investopedia, ini adalah indikator kesehatan finansial perusahaan/bisnis “paling langsung” karena metriks ini menunjukkan seberapa baik manajemen mengubah pendapatan menjadi keuntungan kotor. Ketika angka gross margin suatu bisnis tinggi, ini menunjukkan dua hal, yaitu (1) kekuatan bisnis dalam menetapkan harga dan (2) efisiensi dalam penggunaan biaya variabel. Selain itu, untuk harga saham sendiri, kasarnya, ini bisa mencerminkan ekspektasi investor terhadap daya tahan model bisnis dan prospek profit dalam jangka panjang. Terakhir, volume penjualan dapat menunjukkan sejauh mana pasar merespons inovasi/penjualan produk.
Pertimbangkan Tesla, perusahaan otomotif dan energi yang berbasis di Amerika Serikat. Pertumbuhan bisnis luar biasa signifikan yang ditunjukkan oleh Tesla didorong oleh penerapan blue ocean strategy. Pada awalnya, mereka menciptakan arena pasar tanpa pesaing dalam ranah kendaraan listrik sehingga mereka mampu menonjol. Tesla berhasil menciptakan permintaan baru dan membuat para pesaing (otomotif) konvensional menjadi kurang relevan dengan menawarkan mobil listrik. Singkatnya, mereka dapat menunjukkan bahwa menciptakan arena pasar baru dapat menyingkirkan persaingan.

Pada gambar grafik diatas, terdapat dua kurva, yaitu kurva berwarna biru dan kuning. Semenjak tahun 2020, sebenarnya, kedua perusahaan ini memijak lantai yang sama, yaitu ±18%. Akan tetapi, ketika permintaan terhadap produk Tesla meledak, yaitu Model 3 dan Model Y, margin Tesla menanjak tajam, sedangkan Toyota tetap bertahan di sekitar 17%—19%. Namun, puncak itu bukan hanya angka di kertas, analisis Reuters menghitung bahwa pada kuartal III 2022, profit kotor Tesla per unit mencapai $15.653. Sebagai perbandingan, angka ini lebih dari dua kali Volkswagen, empat kali Toyota, dan lima kali Ford.

Dari data di atas, ini menunjukkan Tesla berada di puncak dengan $9.574 laba bersih per unit yang diikuti dengan produsen-produsen mapan lainnya yang berada jauh di bawah. GM, Toyota, Ford, dan kawan-kawannya terpaksa memenuhi dua tuntutan sekaligus, yaitu mempertahankan bisnis di lini mesin konvensional dan mengembangkan mobil listrik yang sampai sekarang masih belum menghasilkan keuntungan dan justru mencatat kerugian di laporan keuangan. Mereka harus terus mengoperasikan ribuan perakitan mesin bensin sambil membangun fasilitas pengembangan mobil listrik, seperti membangun fasilitas baterai baru, merancang platform EV modern, merekrut insinyur perangkat lunak, dll. Bahkan, Ford diproyeksikan mengalami kerugian hingga $5,5 miliar pada segmen EV sepanjang tahun 2025, meskipun mereka tetap mencetak laba dari bisnis gas atau hybrid secara total. Ini berarti setiap EV yang dijual Ford membawa beban investasi besar yang menyebabkan margin per unit tipis atau bahkan negatif.
Bagaimana dengan GM dan Toyota? Mereka memang masih mencatat laba per unit EV, tetapi hanya sekitar 20%—25% dari apa yang diraih perusahaan Tesla. Mereka masih membayar biaya gudang, komponen yang belum didesain ulang untuk produksi massal EV, dll.
Dari data-data tersebut, dengan kata lain, Tesla mampu meraup margin kotor 20—25% secara konsisten pada tahun 2020—2022, sedangkan di lain sisi, pabrikan mobil tradisional umumnya hanya mampu mencapai di kisaran belasan persen saja. Data-data ini juga menunjukkan bahwa Tesla memang mampu memposisikanproduknya pada suatu segmen yang menunjukkan kekuatan merek dan teknologi tinggi tanpa perlu terlibat perang harga untuk menjaga margin yang besar.

Ketika kita melihat grafik total return saham periode Juli 2020—Juli 2025, ini menjadi jelas bahwa investasi di Tesla membuahkan hasil nyaris tiga kali lipat modal, sekitar 291,7%. Sementara itu, pabrikan konvensional yang masih terjebak dalam perang harga dan red ocean hanya mampu mencatat kenaikan belasan hingga seratusan persen saja. Dengan ROE sebesar 3,18%, lebih tinggi 2,39% daripada rata-rata industri, ini menunjukkan kemampuan Tesla dalam mengubah modal pemegang saham menjadi keuntungan. Tesla tidak hanya menjual mobil, tapi juga menciptakan ekosistem baru yang menjauhkan mereka dari kompetisi secara langsung dengan kompetitor dan memberikan mereka pricing power di industri.
Para investor mengapresiasi bisnis ini dengan mematok valuasi yang tinggi berdasarkan ekspektasi mereka terhadap profitabilitas jangka panjang perusahaan ini. Sebaliknya, pabrikan tradisional masih terjebak pada upaya menekan biaya produksi, diskon, dan lainnya. Ini adalah “fitur” dari red ocean strategy yang memungkinkan untuk menipiskan margin dan tidak memaksimalkan potensi return saham. Pola pertumbuhan saham tesla ini adalah bukti kasar bahwa menciptakan pasar baru dapat memancing investor untuk menaruh kepercayaan lebih besar dibandingkan berkompetisi di pasar lama.
Tesla tidak hanya menjual mobil, tetapi juga menawarkan solusi untuk penyimpanan energi dan layanan berlangganan perangkat lunak self-driving. Analis Morgan Stanley menilai keuntungan dari unit energi ini setara dengan profit penjualan satu juta unit mobil dan diperkirakan pendapatannya bisa menembus $3 miliar per kuartalnya. Nah, ini artinya Tesla punya keuntungan tambahan yang tidak mudah untuk ditiru pabrikan lama.
Ketika produsen-produsen mapan lainnya yang terpaksa memenuhi dua tuntutan sekaligus, Tesla justru “berenang” di blue ocean. Strategi bisnis mereka bukan pasang harga murah, melainkan menciptakan produk dan ekosistem yang bernilai unik. Itulah mengapa hanya yang benar-benar menciptakan value baru bisa menciptakan keuntungan yang luar biasa signifikan meskipun banyak perusahaan yang berlaga di pasar EV.
Tapi, Bisnis EV Sekarang Sudah Tidak Blue Ocean Lagi?
Kita sudah membuktikan bagaimana Tesla sukses dengan menggunakan blue ocean strategy dari konsep dan metriks bisnis. Mungkin, para pembaca bertanya-tanya, bukankah sekarang bisnis EV sudah banyak pesaingnya? Dan, ini memunculkan pertanyaan baru, apakah Tesla sekarang sudah tidak berenang di blue ocean lagi?
Dalam teori blue ocean, pasar yang tadinya bening, pada akhirnya, memang akan dikeruhkan oleh para peniru lainnya. Ini bukanlah kegagalan strategi, melainkan siklus alami. Blue ocean itu bersifat sementara. Penulis buku Blue Ocean Strategy sendiri menulis bahwa begitu para kompetitor berbondong-bondong, perusahaan yang menciptakan blue ocean ini harus menciptakan blue ocean baru atau memperluas yang sudah ada.
Analoginya seperti ini, let’s say, seorang nelayan mendapati sebuah teluk yang sunyi dan banyak ikan. Tentu, kemungkinan besar berita akan menyebar dan mengundang banyak nelayan lainnya. Jika nelayan yang pertama kali mendapati teluk tersebut memilih untuk menunggu saja, jumlah tangkapan ikan per kapal akan turun. Akan tetapi, jika ia mendayung lebih jauh, mencari teluk baru, ia akan kembali memperoleh jarak dari rombongan. Inilah logika dari blue ocean strategy, keunggulan tercipta karena kita berada satu langkah di depan arus, bukan karena selamanya sebuah laut akan kosong.
Tesla juga menempuh pola ini secara persis. Lalu, mengapa siklus semacam ini tidak dikategorikan kegagalan? Pertama, periode “monopoli sementara” dalam kasus Tesla tetap menghasilkan profit gemuk yang dapat diinvestasikan ke arena baru. Nah, pintarnya, Tesla menggunakan itu untuk membangun Dojo, super-komputer pelatihan AI, dan penyimpanan energi Megapack. Kedua, pencipta blue ocean memperoleh apa yang penulis buku Blue Ocean Strategy sebut lead-time advantage. Lead-time advantage adalah jeda waktu ketika pesaing masih belajar meniru sistem bisnis yang berbeda secara total. Sebagai contoh, BYD mungkin mampu memangkas biaya dengan membuat banyak komponen mobil sendiri yang bisa menekan harga jual. Akan tetapi, BYD belum punya data-data berkendara yang dimiliki Tesla yang bisa dipakai untuk mengembangkan fitur full self-driving. Selagi BYD berusaha mengejar Tesla, Tesla telah memetik pendapatan melalui revenue streams lainnya. Kesimpulannya adalah meski BYD bisa menyaingi dari sisi harga, Tesla tetap lebih unggul dalam meraih pemasukan dan menciptakan keunggulan yang sulit ditiru oleh BYD.
“Every blue ocean will eventually be imitated and turn red.”
Secara ringkas, alurnya dimulai dari perusahaan meraih keuntungan besar dan otomatis jadi sorotan banyak pihak. Begitu model bisnisnya berhasil, banyak kompetitor yang meniru. Lalu, peristiwa meniru ini dapat memicu perang harga yang dapat menekan keuntungan. Kemudian, perusahaan pun mendapati diri mereka dihadapi oleh dua opsi, entah ikutan menekan biaya, entah menyerah pada margin yang tipis. Jika perusahaan berhenti atau menyerah pada titik itu, blue ocean strategy menjadi gagal. Akan tetapi, jika mereka sama seperti Tesla, yaitu memperluas bisnisnya, dalam kasus Tesla, mereka memperluas bisnis ke penyimpanan energi, mereka akan tetap menjaga blue ocean tetap luas dan sepi pesaing. Jawaban dari pertanyaan ini adalah blue ocean bukanlah tujuan akhir, melainkan ini adalah pola yang berlanjut untuk menciptakan ruang nilai baru sebelum pesaing lain sempat tiba.
Kapan Blue Ocean Strategy Bisa Gagal?
Dalam konsep blue ocean strategy, sebuah perusahaan/bisnis dianggap sukses jika mereka menemukan celah pasar yang belum dijamah oleh siapapun, menawarkan value unik, dan menikmati profit yang tebal tanpa perang harga (untuk sementara). Seperti yang tadi sudah dijelaskan, setiap blue ocean lambat laun akan ditiru oleh kompetitor lainnya dan berubah menjadi red ocean. Ini artinya peluang kegagalan selalu mengintai.
Kasus Tata Nano, mobil “termurah di dunia” yang diluncurkan di India pada tahun 2008, adalah contoh gamblang. Secara konsep, Tata Nano berusaha menjalankan blue ocean strategy. Mereka memiliki visi untuk mengubah jutaan pengendara skuter menjadi pengendara mobil lewat harga setara dua sepeda motor. Sayangnya, visi itu kandas. Penjualan anjlok dari 74.000 unit pada tahun 2012 menjadi hanya satu unit pada Juni 2018, bahkan produksinya berhenti total. Mengapa?
Pertama, tercipta branding yang merugikan bisnis mereka. Branding mobil murah menyinggung gengsi. Nah, karena branding yang salah tersebut, banyak keluarga kelas menengah di India yang merasa merek mobil ini terlalu murah bagi status sosial mereka. Selain itu, alasan lainnya adalah operasional bisnis ini berantakan. Ini ditandai dengan mundurnya jadwal produksi karena masalah sengketa lahan pabrik, dealer yang belum siap memberi layanan jual yang layak, dll. Permasalahan berikutnya adalah selisih harga dengan model atau merek mobil lain menipis yang disebabkan oleh inflasi bahan baku sehingga ini mengurangi daya tarik utama Tata Nano, yang merupakan value utama yang mereka jual, yaitu harga murah. Kombinasi dari permasalahan-permasalahan ini membuat volume penjualan anjlok sehingga blue ocean strategy gagal untuk dipertahankan.
Nah, pertanyaan berikutnya adalah apakah kegagalan brand Tata Nano berarti konsep blue ocean strategy tidak efektif? Tidak juga. Penyebab masalah ini bukan berasal dari ide ataupun konsep blue ocean strategy itu sendiri, melainkan karena pelaksanaannya. Terdapat sebutan yang diperkenalkan oleh penulis Blue Ocean Strategy, yaitu value-profit-people proposition. Ini adalah tiga pilar yang perlu diselaraskan oleh perintis blue ocean strategy. Dalam kasus Tata Nano, mereka memang menekan harga, tetapi mereka gagal menjaga value dari brand mereka (value) dan gagal membangun laba (profit).
Berkaitan dengan value-profit-people proposition tadi, agar blue ocean strategy dapat berjalan secara efektif, ketiga pilar tersebut harus berjalan selaras. Jika kita analogikan, ibaratnya, ini tampak seperti kursi. Setiap kaki kursi harus dalam keadaan baik. Jika salah satunya saja rusak, kursi as a whole juga tidak akan berfungsi secara efektif. Bayangkan suatu bisnis atau perusahaan yang punya value, tetapi tidak memiliki profit. Tentu, konsumen akan senang, tetapi cash flow perusahaan akan mati dan inovasi juga bernasib sama seperti cash flow. Bayangkan juga skenario lain yang di mana suatu bisnis memiliki profit, tetapi tidak dengan value. Jika mereka memasang harga tinggi untuk produk atau jasa mereka, harga tinggi tersebut tidak akan termaafkan karena tidak begitu bermanfaat bagi konsumen yang pada akhirnya konsumen bisa kabur. Bahkan, jika value dan profit sudah berjalan selaras, tetapi tidak dengan people-nya, eksekusi bisnis masih bisa kacau. People proposition dalam hal ini contohnya adalah motivasi karyawan, dukungan supplier, dsb. Penulis buku Blue Ocean Strategy sendiri menegaskan bahwa jika dan hanya jika ketiga pilar tersebut berjalan selaras sebuah perusahaan dapat mengeksekusi blue ocean strategy secara efektif. Mengapa demikian? Ini terjadi karena kompetitor jarang sanggup untuk meniru kombinasi/gabungan dari manfaat, profit margin, dan motivasi manusia secara sekaligus atau bersamaan.
Dengan analogi kursi itulah, jika kita bandingkan dengan Tesla, mereka berhasil memutar siklus inovasinya dan membangun revenue streams selagi mendapatkan laba yang berkelanjutan ketika mereka masih “memonopoli sementara”. Dengan cara itu, mereka berhasil menjaga jarak ketika arena lama tampak memerah. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara Tesla dan Tata Nano. Tesla telah berhasil menyiapkan jalur pelarian sebelum tekanan harga menyerang, sedangkan Tata Nano terjebak dalam arenanya sendiri.
Jika kita simpulkan, secara keseluruhan, blue ocean bisa gagal jika suatu bisnis gagal dalam membaca value bisnis mereka, tak mampu mengeksekusi kualitas produk, atau terlalu lambat dalam membuka ruang saat kompetitor berdatangan untuk memerahkan blue ocean. Tata Nano, sayangnya, “berhasil” mengilustrasikan kegagalan tersebut secara tragis. Akan tetapi, itu bisa jadi pembelajaran untuk kita sendiri, khususnya para pebisnis yang sedang merintis. Kegagalan semacam ini juga bukanlah cap ataupun dakwaan atas blue ocean strategy, melainkan ini menunjukkan bahwa blue ocean strategy itu dinamis. Selama bisnis sigap dalam menghadapi tantangan ke depannya, seperti Tesla, bisnis tersebut tetap dapat berenang menjauh ke air yang lebih tenang sebelum ombak kompetitor menghantam.
Writer: M. Rian Brilliant
Sources
Benzinga. (2025). Insights into Tesla’s performance versus peers in automobiles
sector. Nasdaq. https://www.nasdaq.com/articles/insights-teslas-performance-versus-peers-automobiles-sector-1
Blue Ocean Team. (2023, April 24). Strategic alignment – the key to successful business strategy. Blue Ocean Strategy. https://www.blueoceanstrategy.com/blog/strategic-alignment/
Blue Ocean Strategy Institute. (n.d.). Tata Nano’s execution failure: How the People’s Car failed to reshape the auto industry and create new growth. https://www.blueoceanstrategy.com/teaching-materials/tata-nano/
Eleken. (2023, February 14). Red ocean vs. blue ocean strategy: Characteristics, challenges, and opportunities. https://www.eleken.co/blog-posts/red-ocean-vs-blue-ocean-strategy-characteristics-challenges-and-opportunities
Eleken | Kasym, M. (2024, September 5). Red ocean strategy for SaaS looking to grow in competitive markets. https://www.eleken.co/blog-posts/red-ocean-strategy-how-to-overcome-competition
Harvard Business Review. (2004, October). Blue ocean strategy. https://hbr.org/2004/10/blue-ocean-strategy
Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2004, July). Value innovation: The strategic logic of high growth. Harvard Business Review. https://hbr.org/2004/07/value-innovation-the-strategic-logic-of-high-growth
Pepper Content. (2022, May 5). Marketing case study: The story behind Tata Nano’s failure as a brand. https://www.peppercontent.io/blog/why-tata-nano-branding-was-a-failure/
Reuters. (2023). Tesla’s commanding lead [interactive graphic]. https://www.reuters.com/graphics/TESLA-MARGINS/zdvxdrgnzvx/
Reuters. (2024, July 10). Morgan Stanley bullish on Tesla’s energy‑storage segment. https://www.reuters.com/markets/us/morgan-stanley-bullish-teslas-energy-storage-segment-2024-07-10
Stephenson, J. [@ICannot_Enough]. (2023, July 19). This chart compares Tesla’s auto gross margin… [Tweet]. X. https://twitter.com/ICannot_Enough/status/1681478542263984128
StockDividendScreener. (2025, May 20). Tesla automotive revenue, income per car, and gross margin. Fundamental Data and Statistics for Stocks. https://stockdividendscreener.com/auto-manufacturers/4-key-charts-that-summarize-tesla-automotive-revenue
TIME | Ayyar, K. (2018, July 31). Is it the end of the road for the world’s cheapest car? https://time.com/5345687/worlds-cheapest-car-nano-tata-india/
Visual Capitalist. (2023, February 22). Charted: Tesla’s unrivaled profit margins. https://www.visualcapitalist.com/charted-teslas-unrivaled-profit-margins
Comments