Origin Kajian #4 - Crown of Achievement: The Symbolic Power of Rolex in the World of Professionals
- MSS FEB UI
- Nov 11
- 5 min read

Dalam dunia profesional dan bisnis, ada kalanya seseorang tidak perlu berbicara banyak untuk menunjukkan siapa dirinya. Sebuah jas rapi, sepatu yang bersih, atau bahkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan bisa mengungkapkan status, karakter, dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Dari semua simbol gaya hidup itu, satu merek jam tangan telah melampaui fungsi dasarnya dan berubah menjadi bahasa nonverbal yang universal: Rolex.

Rolex bukan sekadar alat penunjuk waktu. Ia adalah simbol keberhasilan, dedikasi, serta nilai keunggulan yang dipahami di seluruh dunia. Ketika seseorang mengenakan Rolex, ia sebenarnya sedang “berbicara” tanpa kata-kata bahwa dirinya menghargai waktu, konsistensi, dan prestasi. Karena itulah, Rolex sering disebut sebagai bahasa bisnis, bahasa yang tidak diucapkan dengan lisan, tetapi dimengerti oleh mereka yang memahami dunia profesional dan prestise.
Dalam konteks organisasi kampus, memahami makna di balik “bahasa bisnis” seperti Rolex menjadi penting. Sebab organisasi pun, pada dasarnya, juga berkomunikasi dengan simbol dan tindakan. Citra, konsistensi, dan kualitas menjadi pesan yang dikirim ke publik — sama seperti Rolex membangun pesannya ke dunia.
Sejarah Singkat Rolex dan Filosofi Awal
Rolex didirikan pada tahun 1905 oleh Hans Wilsdorf, seorang pengusaha muda asal Jerman yang memiliki visi sederhana tapi revolusioner: membuat jam tangan yang tidak hanya presisi, tetapi juga elegan dan dapat dipercaya. Pada masa itu, jam tangan masih dianggap kurang akurat dibandingkan jam saku. Namun, Wilsdorf yakin bahwa masa depan ada pada jam tangan pergelangan yang presisi dan bisa dikenakan sehari-hari.

Nama “Rolex” sendiri dipilih karena pendek, mudah diingat, dan bisa diucapkan di berbagai bahasa. Sejak awal, Wilsdorf sudah berpikir secara global dan inilah benih dari bahasa universal yang kelak menjadi kekuatan utama Rolex. Filosofi dasarnya adalah “A Crown for Every Achievement” sebuah mahkota untuk setiap pencapaian.
Filosofi ini bukan hanya slogan. Ia menjadi dasar seluruh komunikasi merek Rolex selama lebih dari satu abad. Setiap jam tangan bukan sekadar produk, tetapi simbol keberhasilan pribadi. Nilai ini terbawa hingga kini, di mana Rolex tidak perlu menjelaskan fitur teknisnya panjang lebar, karena makna simboliknya sudah berbicara jauh lebih keras.
Rolex sebagai Simbol Status dan Keberhasilan
Dalam interaksi bisnis, Rolex sering kali berperan sebagai simbol yang menyampaikan pesan: “Saya berhasil.”
Jam tangan ini bukan hanya barang, tapi pernyataan sosial. Seorang eksekutif yang mengenakan Rolex Day-Date atau Submariner tidak sedang pamer, tetapi sedang menyampaikan kredensial tanpa suara. Di dunia profesional, simbol seperti ini penting karena membantu membangun trust dan credibility, dua hal yang menjadi fondasi utama dalam bisnis maupun organisasi.
Menurut teori konsumsi simbolik yang dikemukakan oleh Michael Solomon (1983), individu menggunakan produk tidak hanya karena fungsi, tapi juga karena makna sosial yang melekat pada produk tersebut. Dalam kasus Rolex, makna itu berkaitan erat dengan kesuksesan, kedisiplinan, dan eksklusivitas.
Dengan kata lain, Rolex menjadi semacam “bahasa sosial” yang dimengerti lintas negara dan lintas budaya. Orang tidak perlu menjelaskan siapa dirinya jika sudah mengenakan simbol yang dikenal memiliki reputasi tinggi.
Bahasa “Silent Luxury”: Komunikasi Tanpa Suara
Salah satu hal paling menarik dari Rolex adalah pendekatan yang disebut silent luxury, kemewahan yang tidak berisik. Tidak ada logo besar, tidak ada warna mencolok, tidak ada kampanye yang mengumbar diskon. Rolex justru berbicara melalui ketenangan dan konsistensi. Ketika seseorang memakai Rolex, pesan yang dikirim bukan “lihat saya kaya,” tapi “lihat saya berkelas.” Desain klasik yang tidak banyak berubah sejak puluhan tahun lalu justru menjadi kekuatannya. Seperti yang dijelaskan oleh Kapferer & Bastien (2012) dalam The Luxury Strategy, merek mewah sejati tidak perlu mengikuti tren; mereka menciptakan tren dengan kesetiaan pada identitasnya sendiri.
Dalam konteks dunia organisasi, filosofi ini sangat relevan. Sering kali organisasi kampus berusaha tampil mencolok dengan banyak program atau publikasi, tetapi justru kehilangan arah identitasnya. Rolex mengajarkan bahwa yang lebih penting adalah konsistensi pesan dan citra. Sebuah organisasi yang tenang namun solid, konsisten, dan berkelas, akan lebih dipercaya dibanding yang sering berubah arah.
Rolex dan Nilai Profesionalisme
Ketepatan waktu adalah nilai dasar dalam bisnis, dan Rolex menjadikannya inti dari mereknya. Setiap bagian jam dirancang dengan presisi ekstrem, mencerminkan filosofi bahwa “waktu adalah aset paling berharga.” Bagi seorang profesional, mengenakan Rolex berarti menegaskan nilai disiplin dan tanggung jawab terhadap waktu.
Simbol ini sejalan dengan nilai-nilai yang juga berlaku dalam dunia organisasi: tepat waktu, dapat diandalkan, dan menjaga kualitas kerja. Dalam banyak budaya bisnis, jam tangan dianggap cerminan karakter seseorang. Jam tangan bukan sekadar aksesori, tetapi penanda bagaimana seseorang menghargai waktu dan komitmen. Rolex, dengan reputasinya terhadap presisi, menjadi lambang profesionalisme yang tak tergantikan.
Dalam kacamata organisasi, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai komitmen pada kualitas dan integritas dalam menjalankan program kerja. Ketika sebuah lembaga kampus menunjukkan konsistensi dalam menjalankan rencana, menjaga janji pada stakeholder, dan menghargai waktu anggotanya, lembaga itu sedang berbicara dalam bahasa profesionalisme bahasa yang sama dengan yang diwakili Rolex.
Strategi Branding yang Aspiratif
Rolex tidak menjual jam tangan dengan cara biasa. Mereka tidak menjual produk, melainkan impian dan pencapaian. Dalam setiap kampanye, Rolex selalu menempatkan dirinya di sisi para pemenang: atlet Wimbledon, peraih Oscar, pembalap Formula 1, atau penjelajah dunia. Dengan cara ini, Rolex tidak perlu berbicara tentang fitur teknis karena makna emosionalnya jauh lebih kuat.
Slogan mereka, “A Crown for Every Achievement,” menyiratkan filosofi bahwa setiap keberhasilan pantas dirayakan dan Rolex menjadi simbol perayaan itu. Dalam psikologi pemasaran, pendekatan seperti ini dikenal sebagai emotional branding, yaitu strategi yang menekankan koneksi emosional antara merek dan konsumennya.
Pelajarannya untuk organisasi jelas: reputasi dan citra yang kuat tidak dibangun dari promosi semata, tetapi dari asosiasi dengan nilai-nilai besar. Jika Rolex mengasosiasikan dirinya dengan ketepatan dan kemenangan, maka organisasi kampus pun bisa memilih nilai yang ingin dilekatkan pada identitasnya, apakah itu profesionalisme, inklusivitas, atau semangat inovasi.
Rolex sebagai “Modal Simbolik”
Pierre Bourdieu (1984) menyebut konsep symbolic capital, yaitu nilai sosial yang tidak berupa uang, tetapi prestise dan pengakuan. Dalam dunia bisnis, Rolex berperan sebagai bentuk modal simbolik. Ia memberi pengakuan bahwa seseorang telah mencapai tahap tertentu dalam hidupnya. Simbol ini dapat membuka peluang dalam percakapan bisnis, negosiasi, atau jaringan sosial.
Hal yang sama bisa terjadi dalam konteks organisasi. Reputasi lembaga atau departemen bisa menjadi modal simbolik yang mempermudah kolaborasi, membuka dukungan sponsor, dan meningkatkan kepercayaan publik. Sama seperti Rolex yang tidak perlu menjelaskan kualitasnya setiap kali disebut, organisasi yang memiliki reputasi baik juga tidak perlu membuktikan diri berkali-kali karena namanya sudah berbicara.
Pelajaran untuk Dunia Organisasi dan Kepemimpinan
Dari cara Rolex berkomunikasi, ada sejumlah pelajaran penting yang bisa diterapkan dalam dunia organisasi kampus:
Bangun identitas yang konsisten.
Rolex tidak berubah-ubah gaya komunikasi. Ia tahu siapa dirinya dan mempertahankan citra itu selama lebih dari 100 tahun. Organisasi pun perlu punya karakter yang jelas agar tidak kehilangan arah.
Fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
Rolex tidak membuat banyak model, tapi setiap modelnya dirancang dengan sempurna. Begitu juga program kerja, lebih baik sedikit tapi berkualitas dan berdampak, daripada banyak tapi tidak konsisten.
Ciptakan simbol dan narasi yang kuat.
Rolex punya “mahkota” sebagai ikon global. Organisasi bisa menciptakan simbol atau tagline yang menggambarkan nilai inti lembaganya.
Gunakan komunikasi nonverbal.
Kadang, cara berpakaian, cara berbicara, dan ketepatan waktu rapat adalah bentuk bahasa profesional yang lebih efektif daripada pidato panjang.
Rayakan pencapaian.
Rolex mengajarkan pentingnya mengapresiasi hasil kerja. Dalam organisasi, merayakan keberhasilan anggota bisa menumbuhkan semangat dan rasa memiliki.
Kesimpulan
Rolex menunjukkan kepada dunia bahwa kekuatan komunikasi tidak selalu terletak pada kata-kata. Ia membuktikan bahwa simbol, konsistensi, dan reputasi bisa menjadi bahasa yang jauh lebih berpengaruh. Dalam bisnis, Rolex berbicara tentang prestasi, kredibilitas, dan keanggunan yang tidak perlu dipamerkan. Dalam organisasi, prinsip yang sama berlaku: cara kita menjaga citra, menepati janji, dan menunjukkan kualitas adalah bahasa yang dibaca oleh publik.
Dengan memahami filosofi di balik Rolex, organisasi kampus bisa belajar bahwa menjadi berkelas bukan berarti harus berisik. Terkadang, ketenangan, konsistensi, dan komitmen adalah bentuk komunikasi yang paling elegan. Pada akhirnya, seperti filosofi yang dipegang Rolex selama satu abad lebih mahkota memang bukan untuk semua orang, melainkan untuk mereka yang terus bekerja keras meraihnya dengan waktu, disiplin, dan integritas.
Sources:
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
Kapferer, J.-N., & Bastien, V. (2012). The Luxury Strategy: Break the Rules of Marketing to Build Luxury Brands. Kogan Page.
Solomon, M. (1983). The Role of Products as Social Stimuli: A Symbolic Interactionism Perspective. Journal of Consumer Research.
Rolex Official Website. (2024). The Rolex Way. www.rolex.com
