Origin Kajian #3: How Nike Turned a Risky Marketing Move into a Successful Campaign
- MSS FEB UI
- Jul 28
- 5 min read

Saat ini, konsumen adalah belief driven, mereka mencari merek yang selaras dengan nilai sosial, politik, dan lingkungan mereka, bukan hanya mengutamakan harga dan kualitas. Hal ini mendorong strategi komunikasi merek yang baru, yaitu brand activism. Brand activism adalah sikap publik yang diambil oleh suatu merek dalam isu sosial, politik, maupun lingkungan. Tindakan berani ini dilakukan suatu brand demi menjunjung values yang dimilikinya. Brand activism dapat dilakukan melalui marketing campaigns, desain produk, atau yang lainnya.
Nike adalah salah satu contoh merek yang melakukan brand activism karena pada tahun 2018, Nike membuat gebrakan setelah memutuskan untuk bekerja sama dengan Colin Kaepernick. Nike menggunakan wajah Colin Kaepernick sebagai peringatan ulang tahun ke-30 slogan “Just Do It” milik Nike yang bertepatan dengan Labor Day di Amerika Serikat. Keputusan ini menunjukkan bahwa Nike tidak hanya berfokus pada penjualan produk, tetapi juga berani mengambil posisi dalam perdebatan publik untuk membela nilai-nilai yang mereka anggap penting. Dengan strategi pemasaran ini, Nike membuktikan bahwa mereka adalah merek yang relevan secara sosial dan memiliki keberpihakan terhadap isu-isu masyarakat.
Colin Kaepernick sendiri adalah seorang civil rights activist dan mantan pemain football quarterback profesional. Ia mulai ramai diperbincangkan saat melakukan aksi berlutut saat lagu kebangsaan Amerika Serikat sebelum pertandingan NFL pada tahun 2016. Colin melakukan aksi ini sebagai bentuk protes terkait ketidakadilan ras termasuk mendukung aksi Black Lives Matter dan juga protes terkait police brutality terhadap orang berkulit hitam yang terjadi di Amerika Serikat. Namun, hal ini dianggap kontroversial karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa aksi berlutut ini merupakan penghinaan terhadap Amerika Serikat. Dampak terhadap karirnya di NFL pun terasa saat setelah musim 2016, Colin tidak lagi mendapat kontrak dari tim manapun.

Tujuan Nike melakukan ini adalah sebagai bentuk komitmen terhadap nilai keberagaman dan keadilan sosial khususnya pada isu rasisme sistemik di Amerika Serikat. Melalui kampanye ini, Nike menyampaikan pesan bahwa mereka mendukung perjuangan melawan diskriminasi rasial yang ada. Selain itu, Nike juga bertujuan untuk meningkatkan koneksi emosional dengan generasi muda yang lebih peduli terhadap nilai sosial. Dalam aksi ini, Nike memposisikan dirinya sebagai pemimpin moral dalam industri fashion olahraga.
Brand activism yang dilakukan Nike pastinya terdapat risiko yang harus Nike tanggung. Hal ini akibat dari Colin Kaepernick yang dikenal sebagai figur pemecah opini publik. Kampanye ini juga berisiko menyinggung segmen pasar konservatif, termasuk kelompok yang melihat aksinya sebagai penghinaan terhadap militer atau simbol nasionalisme. Selain itu aksi ini juga berisiko munculnya boikot, pembakaran produk, hingga reaksi negatif dari politisi dan media. Nike sadar kampanye ini akan memicu backlash, tapi mereka juga percaya bahwa kampanye ini dapat menguatkan brand loyalty dan meningkatkan nilai brand equity.
Dari sekian banyak risiko, Nike berani melakukannya karena beberapa alasan yang jelas. Sejak awal, Nike membangun identitas merek yang lekat dengan perjuangan dan melawan arus, jadi kerja sama dengan Colin Kaepernick bukan hal yang “tiba-tiba” melainkan konsisten dengan nilai yang dibawa. Selain itu, Nike juga mengenal konsumennya yang mayoritas anak muda dan peduli akan isu sosial serta progresif, dengan kata lain, Nike tahu suara siapa yang sedang mereka wakili. Alasan lainnya adalah sebagai perusahaan besar, Nike punya kekuatan untuk menahan fluktuasi jangka pendek atau dapat mentoleransi risiko finansial yang akan terjadi.
Did It Work? Here’s What Happened to Nike
Brand activism dianggap sebagai suatu hal yang berani karena memiliki risiko seperti hilangnya sebagian pasar dari suatu merek. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa ketika nilai merek sesuai dengan nilai pribadi konsumen, brand activism meningkatkan brand trust dan purchase intention. Namun sebaliknya, ketika nilai bertentangan, efeknya akan negatif. Maka dari itu, penting untuk menjaga keautentikan dan pemahaman konsumen dalam strategi pemasaran brand activism.
Seperti saat Nike pertama kali aktif menyuarakan keberpihakannya pada suatu isu sosial, tentu terdapat konsumen yang tidak sepakat dengan nilai yang dibawa Nike. Tidak sedikit konsumen yang melakukan aksi demonstrasi dengan membakar sepatu Nike dan juga melakukan ancaman boikot. Mereka merasa tidak senang akan aksi berlutut Colin karena sudah membayar tiket mahal untuk melihat para atlet bermain di lapangan, bukan untuk melihat atau mendengar pendapat politik seseorang. Tidak hanya memberi efek pada masyarakat, tetapi juga Presiden Donald Trump ikut mengkritik aksi Colin Kaepernick hingga mengatakan bahwa kampanye Nike tersebut menyampaikan “pesan yang buruk”.

Namun, brand activism sendiri adalah sebuah strategi pemasaran yang berartitujuannya adalah untuk menjangkau pasar baru. Meski ada risiko kehilangan sebagiankonsumen yang kontra dengan pernyataan suatu merek, strategi pemasaran inidilakukan dengan perhitungan bahwa akan ada konsumen lain yang justru semakin loyalatau tertarik karena nilai yang dibawa oleh merek tersebut. Strategi ini memang menargetkan konsumen yang memiliki kesamaan nilai, dengan harapan membangun hubungan emosional yang lebih kuat dan berkelanjutan antara merek tertentu dengan konsumen.
Dalam kasus Nike sendiri, dampak dari melakukan brand activism adalah menguatkan brand image sebagai merek yang berani, bernilai sosial, dan juga relevan. Konsumen Nike juga mengapresiasi tindakan Nike yang autentik. Selain itu, sesuai dengan tujuan awal, Nike berhasil memberi pengaruh positif ke media sosial setelah mendapat sekitar 17.000 followers baru di Instagram. “Dream Crazy” ini juga memberi pengaruh terkait profit margin pada bisnisnya. Hal ini sejalan dengan pergerakan harga saham perusahaan yang mencerminkan respons pasar terhadap kampanye ini.

Kampanye Nike berdampak pada respon konsumen dan loyalitas merek jika dilihat dari data penjualan online berdasarkan sampel e-struk anonim dan teragregasi dari lebih dari 3 juta konsumen di Amerika Serikat. Data tersebut menunjukkan bahwa penjualan naik sebesar 31% dibandingkan saat Labor Day tahun 2017. Meski begitu, penyebab kenaikan penjualan tidak bisa sepenuhnya dipastikan karena Colin Kaepernick dan/atau liputan media gratis besar-besaran yang diterima Nike. Satu hal yang dapat dipastikan adalah liputan media gratis ini setara dengan pembelian iklan senilai 43 juta dolar AS.

Saat kampanye Nike dengan Colin Kaepernick diumumkan, saham Nike sempat turun sekitar 3% atau kisaran 79 dolar AS per lembar. Hal ini terjadi akibat kekhawatiran akan aksi boikot Nike. Namun, selang sepuluh hari, saham Nike melonjak dan memulihkan diri setelah mencapai harga 83,49 dolar AS. Kenaikan saham ini tercatat hingga 4% dan dalam jangka panjang, saham Nike telah melonjak sebesar 33% sepanjang tahun 2018. Pergerakan ini menunjukkan bahwa meskipun sempat memicu respon negatif, pada akhirnya pasar memberi respon yang positif terhadap keberanian yang dilakukan Nike.
Aksi brand activism dari Nike ini memang terlihat sebagai sebuah risiko yang ternyata membuahkan hasil. Nike membuktikan bahwa keberanian untuk menyuarakan nilai dapat menghasilkan dampak jangka panjang yang signifikan secara finansial maupun relevansi merek. Di tengah dinamika sosial yang terus berkembang, brand activism berpotensi menjadi pembeda yang menentukan posisi bisnis di mata publik. Oleh karena itu, keberanian dalam mengambil sikap kini menjadi salah satu langkah yang strategis untuk membangun kepercayaan konsumen.
Belajar dari Nike, sebelum melakukan brand activism, pelaku bisnis harus memperhatikan beberapa hal agar mencapai tujuan yang diinginkan. Brand activism harus autentik dan sejalan dengan identitas merek. Hal ini penting karena konsumen bisa membedakan mana kampanye yang tulus dan juga yang oportunistik. Selain itu, pelaku bisnis juga harus mempertimbangkan trade-off antara polarization dan penguatan loyalitas. Dengan perencanaan yang matang, brand activism dapat menjadi strategi yang tidak hanya berdampak positif bagi masyarakat, tetapi juga memperkuat posisi merek di pasar.
Brand activism bukan sekadar strategi pemasaran biasa, melainkan soal konsistensi nilai dalam seluruh operasi bisnis. Bisnis yang mengaplikasikan strategi pemasaran ini, memerlukan cost-benefit analysis, agar dapat memperkirakan sejauh mana suatu bisnis siap menanggung backlash dan seberapa besar keuntungan yang dapat diraih dari hasil penguatan loyalty di kalangan konsumen yang sejalan dengan nilai yang dibawa oleh suatu merek. Dalam dunia yang semakin politis ini, diam saja juga bisa dianggap sebagai sikap negatif, maka dari itu, terkadang berpihak justru meningkatkan kredibilitas.
Writer: Naira Huzaifa
Sources:
Bassant, Eyada. (2020). Brand Activism, the Relation and Impact on Consumer
Perception: A Case Study on Nike Advertising. Canadian Center of Science and
Avery, J., & Pauwels, K. (2019). Brand Activism: Nike and Colin Kaepernick. Harvard Business School. https://www.hbs.edu/faculty/Pages/item.aspx?num=55349
Saluja, G., & Chan, E.Y . (2025). Going against the Tide: How Self-Construal Moderates Receptivity towards Popular Brand Activism. Journal of Business Research. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0148296325000517
Comments